Search

Kemiskinan, Kampung Kumuh Ibu Kota, dan Gelombang Urbanisasi

Kemiskinan, Kampung Kumuh Ibu Kota, dan Gelombang Urbanisasi

Jakarta, CNN Indonesia -- Warga miskin kota dinilai kerap dianaktirikan oleh derap pembangunan. Manfaat pembangunan infrastruktur di Jakarta, misalnya, dinilai tak berdampak bagi warga di kantong-kantong permukiman kumuh. Pembangunan infrastruktur yang berkilau hanya mengundang para pendatang yang berharap bisa mencari rejeki di ibu kota.

Warga permukiman kumuh, tetap berjuang dan berdamai dengan nasib sambil berkompetisi dengan para pendatang yang disambut ramah. Jakarta, kata Gubernur Anies, adalah rumah bersama. Siapapun boleh mencari rezeki di sini.

Namun para pendatang pun kemudian tak luput jadi kambing hitam pertumbuhan kemiskinan di ibu kota. Tak hanya angka kemiskinan, para pendatang, khususnya mereka yang tak punya skill, justru berperan jadi penyubur wilayah kumuh di Jakarta.

"Karena 'gula-gula' ekonomi itu ada di Jakarta, 70 persen perputaran uang ada di Jakarta mengundang kaum urban datang. Sayangnya tak semua mereka dibekali dengan skill," kata Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/8).

Mereka yang terdepak dari pasar kerja, lanjut Bhima, mau tidak mau bakal bekerja di sektor informal. Maka akan didapati mereka berprofesi menjadi pemulung, pembantu rumah tangga, pengamen jalanan hingga tukang ojek.

"Penghasilannya rendah dan terpaksa tinggal di kampung-kampung kumuh atau permukiman liar," ujar dia. Meski tak merilis angka rigid, INDEF mengklaim realitas sosial ini telah nampak di sejumlah permukiman kumuh di wilayah Jakarta Utara dan Timur.

Bhima berpendapat masalah ini harusnya bisa dibenahi bukan oleh Jakarta saja. Pemerintah daerah asal harus mampu membuka lapangan pekerjaan. Ini jadi poin krusial agar Jakarta tak melulu menjadi magnet.

Mengutip catatan World Bank, 2013, laju urbanisasi di Indonesia, sekitar 4,1 persen per tahun, tumbuh lebih cepat daripada negara Asia lainnya. World Bank memprediksi pada 2025 sebanyak 68 persen populasi Indonesia akan berpusat di kota.

"Kepadatan populasi perkotaan di Indonesia meningkat tajam, dari 7.400 orang per kilometer persegi menjadi 9.400 orang tiap tahun," demikian laporan World Bank.

Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI, mencatat pendatang baru di Jakarta dalam satu dekade terakhir fluktuatif. Pada 2010, pendatang baru ada di angka 59.215 jiwa. Kemudian pada 2011 ada 51.875 jiwa, dan 2012 ada 47.832 jiwa.

Lalu memasuki 2013, jumlah pendatang mencapai 54.757 jiwa. Pada 2014 ada 68.537 jiwa, dan naik menjadi 70.504 jiwa di tahun 2015. Berikutnya menjadi 68.763 jiwa di tahun 2016, 70.752 jiwa di 2017, dan 69.479 jiwa di 2018. 


Elegi Kemiskinan Ibu Kota dan Gelombang Pemburu Kerja (EBG)Para pencari kerja dalam sebuah bursa kerja di Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Sementara itu terkait dengan penataan permukiman kumuh, Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga menilai Pemprov DKI sampai saat ini belum memiliki program kerja konkret dalam mengentaskan kampung kumuh. Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bentukan Anies yang juga fokus terhadap isu kemiskinan, menurut dia, belum bekerja secara maksimal.

"Terus terang saya belum melihat peran TGUPP dalam mengentaskan kemiskinan, misal adakah peta jalan pengentasan kemiskinan dan penataan kampung kumuh di Jakarta," ujarnya.

Nirwono mengingatkan pemerintah keberadaan UU nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Ada dua konsep pendekatan, pertama, melakukan pemugaran bangunan rumah melalui swadaya atau subsidi, kedua melalui peremajaan atau revitalisasi kampung meliputi perbaikan infrastruktur, penataan bangunan, dan sebagainya. Kedua pendekatan ini hanya berlaku bagi permukiman kumuh yang sesuai dengan peruntukan hunian.

"Sedangkan jika tidak sesuai atau melanggar, maka kampung kumuh harus dilakukan penempatan kembali/relokasi ke tempat/lokasi lain yang disediakan pemda. Lahan eks kampung kumuh mesti kembali sesuai peruntukannya dalam rencana tata ruang," kata dia.

Dalam hal Jakarta, kata dia, maka menjadi tugas pemerintah untuk melakukan pendekatan khusus dengan tidak mengesampingkan ketegasan. "Kita harapkan tim dapat bekerja lebih giat lagi agar masalah lahan, kepastian tempat tinggal, selaras dengan rencana peruntukan tata ruang," ujarnya.

Sementara itu sebagai jawaban terhadap kemiskinan yang menjadi korban kebijakan, kata Nirwono, bisa dilakukan dengan penggiatan padat karya, pengembangan ekonomi kreatif. "Misalnya melibatkan para warga ambil bagian dari penyelenggaraan festival wisata," kata dia.


Target Kemiskinan Turun 1 Persen 2020
 

Sekretaris Dinas Sosial DKI Jakarta, Mariana mencatat ada 1,7 juta jiwa warga miskin di DKI Jakarta. Jakarta Utara mendominasi dengan 441.305 jiwa. Disusul 431.540 di Jakarta Timur, Jakarta Selatan sebanyak 374.113 jiwa, Jakarta Barat 291.708 jiwa dan Jakarta Pusat sebanyak 228.473 jiwa.

Dinsos, kata dia, tidak dalam kapasitas melakukan intervensi pada penataan permukiman kumuh.

"Fokus kami adalah pada manusianya. Misal, adakah lansia, disabilitas yang terlantar di situ. Kita upayakan agar mereka dapat memberdayakan diri secara ekonomi," kata Mariana.

Pemprov DKI menyebut telah mengeksekusi program pelatihan usaha ekonomi produktif (UEP). Target program adalah fakir miskin, eks warga binaan sosial (WBS) dan WBS potensial yakni lansia dan disabilitas. "Anggaran untuk UEP 2018-2022 dengan total anggaran Rp18,4 miliar," ujar dia.

Program lain juga dilakukan, kata dia, misalnya program Kartu Lansia Jakarta (KLJ) sebesar Rp291 miliar, pemenuhan kebutuhan anak terlantar sebesar Rp4 miliar, dan pemenuhan kebutuhan disabilitas sebesar Rp25 miliar. 

"Sesuai arahan gubernur, penuntasan kemiskinan DKI Jakarta 3,78 persen harus turun satu persen pada 2022," tegas dia.

Sementara itu, Anggota TGUPP Angga Putra Fidrian mengatakan Pemprov DKI tengah berupaya memperkuat komunitas di kampung-kampung. Dengan hal itu, Angga meyakini kemungkinan persoalan yang timbul dari pendatang baru dapat teratasi.

"Kalau dia (pendatang) aneh-aneh pasti masyarakat sekitarnya datengin. Ini siapa, mau ngapain di sini, dan segala macemnya," ujarnya.

Elegi Kemiskinan Ibu Kota dan Gelombang Pemburu Kerja (EBG)Aktivitas warga di Pasar Waru. Jakarta, Selasa, 29 Januari 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Di sisi lain, Angga menambahkan bahwa Pemprov DKI juga sudah mempunyai program kewirausahaan terpadu (PKT). Program ini dikelola oleh Dinas Koperasi, UMKM, serta perdagangan Provinsi DKI Jakarta. Tujuannya mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan ekonomi warga Jakarta.

"Silakan saja kalau mereka mau datang, cari kerja, kita punya dulu namanya Oke-oce, sekarang program kewirausahaan terpadu (PKT)," kata dia. Kendati tidak bisa menyebut jumlah, Angga mengklaim kalau program tersebut telah diikuti oleh banyak wirausaha.

Terkait penataan kawasan kumuh, TGUPP, kata dia, sudah sodorkan solusi. TGUPP akan mendayagunakan akademisi untuk mendesain tata kota. Tahun ini, kata dia, DKI masih menggunakan jasa konsultan. Tahun depan diharapkan para akademisi bisa bersama-sama dengan masyarakat membangun kampungnya melalui Community Action Plan (CAP).

Akademisi itu nanti harus bisa tinggal di daerah yang akan dibangun. Dengan begitu, para perencana bisa memperhatikan kebiasaan warga secara langsung dan menuangkan dalam bentuk program. "Mereka harus live in di RT atau kampungnya. Konsultannya itu harus tinggal di situ. Jadi bukan sekali langsung selesai," tutup dia.

Sejauh ini ada 455 RW kumuh yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Dari angka itu, pemerintah menargetkan pembenahan 200 RW selama 5 tahun kepemimpinannya.
[Gambas:Video CNN] (ctr/ryn/ain)

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kemiskinan, Kampung Kumuh Ibu Kota, dan Gelombang Urbanisasi"

Post a Comment

Powered by Blogger.